Di Kampung Jatisari, Desa Mekarsari, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut — sebuah daerah yang kerap dielu-elukan sebagai tanah subur penuh potensi — jalan usaha tani dibangun seperti menyusun mimpi di atas lumpur. Volume 200 x 2,2 x 0,12 meter kubik dicor begitu saja, tanpa kerikil dasar, tanpa lapisan perkerasan, hanya dilapisi alasan tipis dan semen yang meragukan keasliannya. Total anggaran Rp98.906.000 — dan yang terlihat di lapangan hanyalah bentuk fisik dari kesembronoan yang dibungkus formalitas Dana Desa.
Ini bukan pembangunan, ini pengaspalan rasa puas diri. Jalan dibangun, bukan untuk menopang mobilitas pertanian, tapi sekadar agar terlihat jadi. Ketika ditanya soal tiadanya lapisan dasar, Ketua TPK bernama Restu menjawab enteng: pada Kamis (24/4/2025), bahwa jalan ini hanya untuk pejalan kaki dan sepeda motor. Ia menambahkan, “Paling juga ambulans lewat kalau ada yang meninggal. Sebulan sekali pun nggak.” Kalimat yang seperti menyusun fondasi atas kebutuhan yang setengah hati.
Logika seperti itu pantas masuk museum absurditas pembangunan. Ini bukan gang sempit, ini jalan usaha tani. Nama yang mengandung makna vitalitas ekonomi, tapi dijalankan seperti proyek uji coba anak magang.
Lebih dalam lagi, Modul Desain Perkerasan Jalan Lentur yang juga diterbitkan oleh PUPR menekankan pentingnya pondasi bawah (subbase) untuk mendistribusikan beban, menyerap air, dan mencegah kerusakan struktural. bersumber (simantu.pu.go.id).
Pasir lempung dituang, semen murah disiram, dan cor beton ditebar di atas tanah mentah — seolah struktur bisa bertahan hanya dengan doa dan papan proyek. Sementara masyarakat melihat, mencatat, dan diam. Karena diam lebih aman daripada bertanya kenapa jalan ini terlihat seperti permukaan martabak keras.
Kutipan Hunter S. Thompson muncul di kepala, seolah menuliskan sendiri dari neraka jurnalisme:
“When the road gets shaky, it’s not the tires that betray you — it’s the bastard who drew the map.””Saat jalanan berguncang, bukan ban yang mengkhianati Anda — melainkan bajingan yang menggambar peta.”
Pembangunan tanpa perhitungan jangka panjang adalah bentuk kemalasan yang dilegalkan. Alih-alih menjadi penopang hasil tani, jalan ini berpotensi menjadi saksi bisu bagaimana sebuah kebijakan berubah menjadi puing dalam waktu singkat.
Di Kabupaten Garut, yang katanya tengah berlari menuju kemajuan, jalan usaha tani yang dibangun tanpa dasar bukan hanya soal kualitas konstruksi, tapi soal kualitas niat dan kejujuran dalam merancang masa depan desa.
Dan jika diam menjadi pilihan, maka retakan pertama bukan pada beton — tapi pada integritas.
(Cece Maedi)