TpWiBSC0BUAoTfA5GfAiGfr0Td==

Bu Ijah, Warga Asli yang Tinggal di Rumah Tidak Layak di Huni, Menunggu Janji-Janji Pemerintah

 


SJB Garut “Kalau rumah rakyat hanya bisa dibantu dengan tanda tangan, lalu untuk apa ada pemerintah yang digaji?”


Di Kampung Cikaso RT 01 RW 06, Desa Cigawir, Kecamatan Selaawi Kabupaten Garut, berdiri sebuah rumah yang bisa bikin hati siapa pun tersayat. Rumah berukuran 5 x 7 meter itu bahkan tak punya dinding. Hanya bilik bambu rapuh dan alas bambu rapuh, spanduk bekas,kain compang-camping yang dipasang menutup lubang angin dari segala arah.





Di dalam rumah itu tinggal Bu Ijah (60), seorang warga asli kampung tersebut, bersama 9 anggota keluarga lainnya—termasuk balita berusia 1 tahun, anak-anak SD, dan SMP yang setiap malam tidur di atas bambu yang sudah rapuh dan tanah lembap. 


Padahal jelas: Bu Ijah lahir dan besar di tanah itu. Ia bukan numpang, bukan pendatang tapi justru dilupakan di kampung sendiri.


Beberapa tahun lalu, rumah itu pernah didatangi petugas. Mereka datang, membawa kamera, mengambil gambar, mencatat nama katanya untuk program bantuan rumah tidak layak huni (RUTILAHU). Tapi setelah difoto, tak ada kelanjutan. Tak ada bantuan. Hanya janji yang tertinggal di lembar laporan.


“Kami kira waktu itu rumah bakal dibangun. Tapi ternyata cuma jadi pajangan laporan. Cuma dijadikan simbol kemiskinan, bukan sasaran bantuan,” ujar salah satu anak Bu Ijah.


RT & RW Bergerak, Kepala Desa Cukup Tanda Tangan


Yang lebih menyakitkan, proposal bantuan untuk rumah Bu Ijah bukan inisiatif dari kepala desa.

Bukan dari mereka yang punya jabatan dan wewenang. Justru RT dan RW lah yang berinisiatif menyusun proposal, mencari jalan, mendorong agar Bu Ijah diperhatikan.


Dan saat proposal itu sampai ke desa, apa yang dilakukan kepala desa?

Hanya menandatangani.

Itu pun dengan enteng mengatakan:


“Saya mah, Kang, sudah bantu. Sudah tanda tangan proposal juga.”


Seolah-olah tinta tanda tangan bisa menggantikan tembok rumah. Seolah-olah cap basah di kertas bisa menahan bocornya atap saat hujan datang.


Padahal sudah jelas dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta Permen PUPR No. 7 Tahun 2018, bahwa pemerintah WAJIB memberikan bantuan kepada warga miskin dengan rumah tidak layak. Terlebih jika yang bersangkutan adalah warga asli dan tinggal di atas tanah milik sendiri seperti Bu Ijah.


Jadi kalau regulasinya jelas, dan pengajuan sudah dilakukan, kenapa tak ada tindakan?

Apakah karena keluarga Bu Ijah tak punya ‘akses’ ke dalam lingkaran kekuasaan?


Yang selama ini benar-benar peduli hanyalah tetangga, RT, dan RW.

Mereka membantu sebisanya: membawakan sembako, mencarikan pinjaman, kadang mengantar ke puskesmas. Tapi mereka juga rakyat kecil. Mereka bisa memberi waktu dan tenaga, tapi mereka tidak bisa mengubah regulasi, tidak bisa menurunkan anggaran.


Sementara pemangku jabatan?

Hanya menonton dari balik meja, dengan tangan yang hanya bergerak untuk menandatangani proposal.


Anak-anak yang tinggal di rumah Bu Ijah akan tumbuh besar dengan kenangan pahit: bahwa mereka tidur di rumah bocor, di tutup dengan bilik bolong,genting bolong dan tempelan baligo di bilik dan pemerintah hanya datang untuk memotret dan menandatangani proposal.


“Jangan bangga menjadi kepala desa, kalau rakyatmu masih tidur di rumah yang akan ambruk dan kelaparan


Jika hari ini tak ada tindakan, maka yang rusak bukan hanya rumah Bu Ijah—tapi kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin.


“Kalau rakyat harus bergantung pada RT dan RW, lalu kepala desa kerja apa?” Kabiro SJB Garut

 

Type above and press Enter to search.